Rabu, 05 Februari 2014

Hidangan Adat yang Sarat Sejarah

Santapan khas suku Sahu di Kampung Gamtala, Maluku Utara tak lepas dari sentuhan sejarah, salah satunya nasi buluh bambu.


nasi buluh bambu,gamtala,halmahera,sultan nuku,vocPara ibu memasak nasi cala untuk makan bersama di sasadu atau rumah adat ketika upacara Orom Sasadu di Kampung Gamtala, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, Mei 2013. Orom Sasadu adalah upacara adat khas Halmahera Barat sebagai tanda syukur. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Gamtala yang terletak di Pulau Halmahera, Kabupaten Halmahera Barat, pernah begitu dekat dengan pusat kekuasaan, ketika Kesultanan Jailolo di Halmahera berjaya menguasai Maluku Utara. Kesultanan Jailolo akhirnya ambruk dan dihancurkan Kesultanan Ternate pada 1551.
Penaklukan Jailolo oleh Ternate mengawali sejarah panjang persaingan Ternate dan Tidore yang menautkan sejarah sejumlah kawasan di Indonesia timur. Mulai dari Minahasa dan Manado; Ambon, Banda, dan Seram yang kaya cengkeh di Maluku, hingga kawasan Kepala Burung dan Teluk Cenderawasih di Papua Barat dan Papua. Nasi buluh bambu adalah jejak tautan masa lalu itu.
Meski memiliki cita rasa yang sama sekali berbeda, nasi cala dari Gamtala sungguh serupa dengan nasi jaha yang kerap dimasak dalam beragam pesta masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara. Tradisi memasak beras dalam buluh bambu juga menapak di kawasan Teluk Cenderawasih dan Sorong di Papua dan Papua Barat.
”Tradisi memasak nasi dalam buluh bambu adalah tradisi baru yang dipengaruhi tradisi kuliner Maluku Utara atau Minahasa. Sulit memastikan asal-usul pengaruh itu karena interaksi orang Papua, Maluku, dan Minahasa sangat panjang dan intens,” kata antropolog dan Ketua Lembaga Riset Papua, Johszua Robert Mansoben.
Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-15, tradisi korsandi menghidupkan kompetisi sengit para mambri (sebutan bagi orang terpandang) Biak untuk berlayar jauh. Penjelajahan bahari yang panjang dan lama para mambri itu berbekal forma, sagu yang dibakar dalam buluh bambu dan kini dikenal di mana-mana.
”Sebaliknya, para mambri pulang membawa cara memasak nasi dalam buluh bambu. Rica-rica adalah contoh lain tradisi santap Minahasa yang kini menjadi santapan sehari-hari di Teluk Cenderawasih. Transaksi tradisi bersantap juga dibawa orang Sanger yang kerap terdampar di Biak Utara dan Supiori Utara,” kata Mansoben. Rica-rica juga santapan yang jamak didapati di Ternate, Tidore, ataupun Halmahera.
Tradisi dagang
Muridan S Widjojo—sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang meneliti relasi sejumlah suku bangsa di Indonesia timur dalam perang pemberontakan Sultan Nuku dari Tidore—menilai kemiripan beragam santapan di Indonesia timur dilumasi sosolot, tradisi ekspedisi dagang orang Seram yang sejak abad ke-15 mengangkut damar, pala panjang, dan kulit buaya dari Papua sejak abad ke-15.
Sebagai bandar transito cengkeh dan pala, Seram Timur disinggahi ekspedisi dagang dari berbagai penjuru Nusantara, termasuk para pelaut Bira di Sulawesi Selatan.
Sejumlah dokumen syahbandar Banda dan Seram abad ke-17 menunjukkan, para pelaut Biak dan Raja Ampat masih menjadi pemasok sagu di kedua pulau itu. Beberapa dokumen VOC dari abad ke-17 juga menyebutkan kapal perompak Biak, Raja Ampat, Jailolo, Sanger yang ditangkap VOC juga mengandalkan sagu sebagai bekal selama melaut.
”Relasi panjang dalam bentuk dagang, perompakan, pertikaian, juga persekutuan perang telah meleburkan beragam tradisi kuliner di kawasan Indonesia timur,” kata Muridan. Warga Danau Sentani dan Palopo, misalnya, sama-sama memiliki sajian jenang sagu berkuah sop ikan.
Orang Danau Sentani di Papua menyebutnya papeda, memasak jenang sagu dan sop ikan kuah kuning secara terpisah. Orang Palopo di Sulawesi Selatan menyatukan jenang sagu dan sop ikan dalam semangkuk sajian kapurung. Keduanya sama-sama segar oleh rasa asam, sama-sama kaya rempah, sama-sama bakal memuaskan selera.

(Aryo Wisanggeni/Kompas)








    : @nugrahacompany

      : nugrahacompany@yahoo.com